Isu perubahan iklim tampaknya bukan isapan jempol belaka. Buktinya saat ini, di musim kemarau tetapi sesekali turun hujan. Cuaca pun terasa berubah-ubah. Kadang panas, namun tiba-tiba dingin menusuk. Akibat hujan, di beberapa daerah bahkan terlanda banjir. Untuk itu, kewaspadaan dan antisipasi terhadap bencana mestinya tetap menjadi prioritas.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2008 lalu, dari 1.306 kejadian bencana, banjir menempati peringkat pertama (38 %). Disusul kejadian seperti kekeringan (15 %), kebakaran (14 %), angin topan (13 %), tanah longsor, gempa,tsunami, gelombang pasang, kecelakaan transportasi, dan lain-lain.
Bencana memang sering terjadi. Terlebih dengan cakupan wilayah yang luas, Indonesia dianggap sebagai negeri yang rawan bencana. Bukan saja bencana alam seperti yang tersebut diatas, faktanya negeri ini pun memiliki potensi terjadinya bencana dalam bentuk lain seperti kerusuhan sosial, aksi terorisme, kecelakaan industri dan sebagainya.
Tanggungjawab
Sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 5 menyebutkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Bentuk tanggungjawab dan wewenang itu telah diatur secara rinci dalam UU itu.
Namun dalam kenyataannya, sering kita melihat lembaga pemerintah (pusat/daerah) belum optimal menjalankan fungsi dalam mengantisipasi bencana, khususnya dalam aspek pencegahan bencana. Terlebih jika evaluasi dilakukan pada tahap tanggap darurat dan rehabilitasi bencana. Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana seperti cepat dan tepat, prioritas, koordinasi dan keterpaduan, transparansi dan akuntabilitas, non diskriminatif dan lain-lain belum sepenuhnya terealisasi.
Padahal jika melihat fakta diatas, bencana setiap saat bisa terjadi. Selain diperlukan sikap yang sigap, antisipasi juga harus dilihat sebagai langkah yang penting. Bencana bukanlah takdir. Petaka yang terjadi, apakah itu banjir, gempa, longsor, dan seterusnya jika kita kaji lebih jauh terkadang akibat perbuatan tangan-tangan manusia sendiri. Atau istilah Ebiet G. Ade, akibat manusia tak lagi bersahabat dengan alam.
Pembangunan, industri, eksploitasi alam yang tak terkendali menimbulkan kerusakan lingkungan. Lantas hukum alam berjalan sebagaimana mestinya. Jika terjadi ketidakseimbangan akan timbul ekses-ekses. Akibatnya manusia sendiri yang menanggungnya.
Peduli Bencana
Dalam konteks yang lebih luas, penanggulangan bencana memerlukan partisipasi masyarakat. Bahkan dalam aspek pencegahan, peranserta masyarakat sebenarnya memiliki andil yang besar. Masyarakat dalam aspek ini harus menjadi subjek bukan objek. Misalnya melalui bentuk gerakan untuk membiasakan tidak membuang sampah sembarangan, gerakan cinta lingkungan hidup, dan lain-lain.
Pemberdayaan masyarakat harus disinergikan dalam gerakan pengurangan resiko bencana. Pemberdayaan disini dilihat sebagai proses dengan pendekatan yang mengutamakan adanya pembagian wewenang pemerintahan dan keuangan antara negara dan masyarakat. Pemberdayaan itu harus berbasis kegiatan di tingkat lokal.
Selain itu, sebenarnya jika dilihat secara umum, tingkat kepedulian masyarakat kita sudah cukup baik saat menghadapi bencana. Hal itu terlihat dengan antusiasnya masyarakat membantu atau mengirimkan sumbangan ke lembaga amal/sosial. Beberapa media baik suratkabar atau televisi yang membuka rekening untuk membantu korban bencana, umumnya mendapat respons yang baik dari masyarakat. Hal itu terbukti dengan terkumpulnya dana yang cukup besar.
Begitu pun di kalangan BUMN/swasta, program Corporate Social Responsibility (CSR) juga ikut berperan membantu korban bencana. Namun hal itu tidak cukup, ke depan dengan melihat potensi bencana yang bisa datang setiap saat, kita perlu terus membangun spirit kepedulian, kebersamaan dan gerakan kesukarelawanan (volunterism).
Gerakan ini melihat bahwa setiap orang dapat berperan dalam mencegah maupun menghadapi bencana. Setiap orang harus ikut berkontribusi sesuai dengan kemampuannya. Prinsip ini jelas terkait sekali dengan kesetiakawanan sosial, solidaritas dan sikap empati. Ke depan, gerakan-gerakan seperti ini harus dilembagakan atau minimal disediakan ruang-ruang publik yang dapat mematangkan tumbuhnya kepedulian bersama dikalangan warga dalam menghadapi masalah-masalah publik, termasuk dalam menghadapi bencana.
Di negara-negara maju, gerakan seperti ini umum terjadi. Masyarakat dengan kesadaran sendiri dan tingkat pemahaman yang kritis terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi, biasanya membangun komunitas-komunitas, aliansi dan jejaring sosial yang tentunya akan lebih cepat bergerak tanpa hambatan birokrasi.
Di tanah air, saat ini pun gerakan-gerakan sosial itu sudah mulai tumbuh. Dulu pernah ada gerakan “koin untuk Prita” dan lain-lain. Beberapa waktu lalu juga ada gerakan penggalangan dana untuk biaya kesehatan bagi korban dari keluarga tidak mampu, dompet untuk Ridho (anak korban ledakan tabung gas) di sebuah televisi swasta dan lain-lain. Aksi-aksi independen seperti ini, yang dimotori oleh komponen masyarakat yang peduli dan tidak memiliki motif tertentu, harus terus digelorakan. Negeri ini membutuhkan aksi-aksi sosial yang tulus.
Sumber : http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/163-masyarakat-peduli-bencana.html
1 comment:
nice post
Post a Comment